Akademisi UI Selenggarakan Seminar “Tinjauan Imunitas terhadap Virus Penyebab COVID-19 dan Herd Immunity”
Para akademisi lintas fakultas di Universitas Indonesia (UI) yang tergabung dalam Tim Pengabdian Masyarakat (pengmas) Multidisiplin 2020 Fakultas Farmasi (FFUI) mengadakan seminar daring series ke-5 “Tinjauan Imunitas terhadap Virus Penyebab COVID-19 dan Herd Immunity” pada Sabtu (21/11), sekaligus menutup rangkaian program “Sehat Lawan COVID-19.”
Seminar tersebut membahas tentang aspek imunitas tubuh manusia terhadap infeksi COVID-19, yakni meliputi imunitas untuk mencegah terjadinya infeksi maupun imunitas yang terbentuk pascapemulihan COVID-19 atau setelah pasien dinyatakan sembuh. Selain itu, herd immunity juga diuraikan berdasarkan tantangan dan rasionalitas penerapannya.
Saat ini lebih dari 57 juta orang terinfeksi dengan total kematian lebih dari 1 juta, dan dengan angka tersebut, Indonesia menempati posisi ke-21 dunia. Menurut Prof. Dr. Maksum Radji, M. Biomed., Apt., Guru Besar FFUI Bidang Mikrobiologi, “COVID-19 menimbulkan efek berbahaya pada orang yang memiliki faktor penyakit bawaan dan juga pada masyarakat di usia produktif. Hal ini didukung oleh proses transmisinya yaitu pasien terinfeksi namun tidak menunjukan gejala, sehingga kita harus tetap melakukan protokol kesehatan, yaitu Pola Hidup Bersih dan Sehat (PHBS); ikuti aturan pemerintah terkait 3M, dan kontrol ketat penyakit penyerta.”
Selanjutnya, Prof. Maksum menambahkan bahwa sistem pertahanan tubuh diklasifikasikan menjadi non-spesifik yang merupakan pertahanan pertama yang tersusun dari fisik humoral (komplemen, interferon, TNF) seluler (fagosit dan NK). Selain itu, ada sistem kekebalan lain yaitu adaptive immunity yang dapat dipicu dari paparan terhadap penyebab kuman salah satunya melalui vaksinasi ataupun paparan langsung secara alami. Sistem adaptif ini memicu pembentukan antibodi yang akan men-trigger pertahanan imunitas seluler.
Herd immunity atau kekebalan komunitas, kata Prof. Maksum, baru tercapai apabila 60-80% masyarakat suatu populasi terpapar secara alami ataupun melalui vaksinasi. Jika dari hasil paparan alami, dari 286 juta penduduk, maka sekitar 160-215 juta penduduk akan terinfeksi dengan kemungkinan 9.1 juta -12.2 juta penduduk akan meninggal (prediksi case fatality rate (CFR) 5.7%). “Untuk itu, mengingat tingginya CFR, maka saat ini para peneliti di dunia berkolaborasi dalam mempersiapkan vaksin. Harapannya, vaksin dapat menstimulasi pembentukan antibodi terhadap penyebab COVID 19. Dengan mempertimbangkan CFR tersebut, herd immunity diharapkan dapat dicapai melalui vaksin,” ujar Prof. Maksum.
Ia mengatakan, dengan vaksinasi diharapkan masyarakat yang telah diimunisasi menjadi pelindung bagi kelompok kecil lainnya yang belum mendapatkan imunisasi. Dalam proses herd immunity melalui vaksinasi, kepatuhan terhadap protokol kesehatan harus tetap berlanjut selama bertahun-tahun karena masih diperlukan studi terkait efektivitas vaksin apakah 6 bulan 1 tahun atau lebih.
Prof. Maksum juga mengatakan, jika vaksin sudah diumumkan aman oleh regulator, terdapat prioritas penerima dari pemerintah, yaitu pertama tenaga kesehatan, kedua: orang yang kontak erat dengan pasien positif, ketiga: petugas publik, ASN, keempat: tenaga pendidik, dan kelima: masyarakat umum.
Di akhir seminar, Prof. Maksum menekankan pentingnya upaya pencegahan penularan sebelum adanya vaksin ataupun efek post surveillance marketing setelah vaksinasi diumumkan. Ia merekomendasikan untuk mematuhi Protokol 3M (menggunakan masker dengan benar, menjaga jarak hindari kerumunan, dan mencuci tangan pakai sabun atau cairan pembersih tangan), kesiapan pemerintah dalam memutus COVID-19, konsistensi lembaga masyarakat untuk tetap menerapkan protokol kesehatan, herd immunity dicapai oleh vaksinasi, serta menjalankan gaya hidup sehat.