close

SKSG UI Selenggarakan Simposium Nasional “Dialog Papua: Refleksi, Visi, dan Aksi”

Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia (UI) bersama dengan Research Centre for Security and Violent Extremism (RECURE) menyelenggarakan Simposium Nasional bertajuk “Dialog Papua: Refleksi, Visi dan Aksi”. Kegiatan ini dilaksanakan secara hybrid (daring dan luring) dari Hotel Sultan, Jakarta, dan disiarkan langsung di aplikasi Zoom dan kanal Youtube “HUMAS SIL dan SKSG” pada Senin (10/5). Simposium tersebut dihadiri offline oleh 250 peserta –mahasiswa dan warga asal Papua–, serta perwakilan instansi pemerintah dan masyarakat umum.

Narasumber yang menghadiri kegiatan tersebut diantaranya Komjen. Pol. Drs. Paulus Waterpauw (Kepala Badan Intelijen dan Keamanan Polri), Drs. Akmal Malik, M.Si (Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri), Prof. Dr. Ir. Apolo Safanpo, S.T., M.T (Rektor Universitas Cendrawasih), Laksamana Madya (TNI) Freddy Numberi (Tokoh Papua), Dr. Sri Yunanto, M.Si (Direktur Eksekutif Institute for Peace and Security Studies/IPSS), Prof. Dr. Cahyo Pamungkas, M.Si (Peneliti tentang Papua LIPI), dan Dr. Margaretha Hanita, S.H., M.Si (Dosen Kajian Ketahanan Nasional SKSG UI) serta Zilvia Iskandar (News Anchor Metro TV) sebagai moderator.

Direktur SKSG UI Athor Subroto membuka dan memberikan sambutan, dengan mengapresiasi terselenggaranya kegiatan simposium nasional ini. Menurutnya, simposium ini menjadi wadah yang baik dan tepat untuk berdiskusi, bertukar pikiran, dan berbagi pengalaman untuk masa depan Papua yang lebih baik. Tentunya, hal ini sejalan dengan membangun dan mewujudkan cita-cita Proklamasi, salah satunya adalah masyarakat bersatu, adil, dan sejahtera. Kegiatan ini diselenggarakan dalam usaha untuk membangkitkan kembali kesadaran akan semangat untuk bersatu, bersaudara, dan membangun.

Komjen. Pol. Drs. Paulus Waterpauw memaparkan kisah awal sejarah Papua dimana Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969 menandai sejarah baru di Papua. Kemudian Resolusi PBB No. 2504 (tanggal 19 November 1969) telah menetapkan bahwa Tanah Papua merupakan bagian dari NKRI dengan hasil 84 negara setuju, negara tidak setuju nihil, 30 negara abstain/blanko, dan yang tidak hadir sebanyak 12 negara. Kemudian disahkannya UU No. 12 Tahun 1969 tentang Pembentukan Provinsi Otonom Irian Barat dan Kabupaten Otonom di Provinsi Irian Barat. Terkait refleksi UU Otonomi Khusus (Otsus) Papua, terbit Perpu No.1 tahun 2008 yang merupakan revisi UU No. 21 tahun 2001 dengan tujuan utama mewujudkan keadilan, penegakan supremasi hukum, penghomatan HAM, percepatan pembangunan ekonomi, dan peningkatan kesejahteraan. Total transfer fiskal 2001-2021 adalah Rp. 1.092 Triliun yang terdiri dari komponen untuk bidang pemerintahan, pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur.

Baca Juga :  Berjasa di Sektor Transportasi, Profesor ITS Raih Penghargaan dari Menhub

Selanjutnya, Akmal Malik membahas dinamika Papua pasca menjadi daerah otonom. Ia mengatakan dalam rangka mengurangi kesenjangan antara provinsi Papua dan provinsi lain dan meningkatkan taraf hidup masyarakat di provinsi Papua serta memberikan kesempatan kepada penduduk asli Papua, diperlukan adanya kebijakan khusus dalam kerangka negara Indonesia. “Kemendagri telah melakukan empat kali evaluasi terhadap implementasi Otsus Papua bersama dengan berbagai lembaga dan universitas. Persoalan tata kelola adalah persoalan yang utama yaitu bagaimana proses perencanaan, proses eksekusi, proses pengawasan dan tindak lanjutnya. Jadi melihat Papua, kita harus melihat sebagai sebuah sistem, sistem daerah otonom yang memiliki kewenangan cukup besar. Persoalan-persoalan tata kelola (pemerintahan) adalah persoalan terbesar yang dihadapi Papua selama ini dan ke depannya. Sebab, jika tata kelola tidak dibenahi dengan benar, maka persoalan keadilan, ketidakpuasan, dan lainnya akan selalu mewarnai setiap dinamika urusan di Papua,” ujar Akmal Malik.

Rektor Universitas Cendrawasih Apolo Safanpo menilai penyelesaian konflik Papua hanya bisa dilakukan melalui rekonsiliasi yang di dalamnya terdapat unsur pengungkapan kebenaran dan saling memaafkan serta restitusi meliputi kompensasi atau ganti rugi yang diharapkan dapat menyentuh rasa keadilan. “Karena itu perlu dipikirkan bagaimana cara rekonsiliasi sesuai kearifan lokal untuk menyelesaikan konflik Papua. Selain itu, rekonsiliasi dapat dilakukan di tingkat Kabupaten, dimana Gubernur diharapkan hadir mewakili pemerintah pusat,” ujar Apolo.

Laksamana Madya (TNI) Fredy Numberi yang merupakan tokoh Papua mengawali paparannya dengan mengulas sejarah Nieuw Guinea (Papua) di masa kolonial Belanda. Menurutnya, suatu proses panjang yang sangat melelahkan dan berdarah-darah sejak 24 Agustus 1828 hingga 19 November 1969 (131 tahun) Keresidenan Nieuw Guinea ikut jatuh bangun dalam genggaman Belanda, Amerika Serikat, dan PBB, dan akhirnya kembali ke rumahnya NKRI. Ia memaparkan analisis konflik di Papua sejak 1 Mei 1963, banyak diterpa kekerasan akibat politik “Devide Et Impera” yang ditinggalkan Belanda menjadi bom waktu hingga saat ini.

Baca Juga :  Ditjen Diktiristek Raih Dua Penghargaan dari Anugerah Humas Indonesia 2021 untuk Kategori Pelayanan Informasi Publik

Freddy mengungkapkan bahwa pendekatan kekerasan warisan kolonial Belanda “mengimpartasi” pemerintah RI dimana semua yang berlawanan di Papua adalah musuh dan dicurigai karena terkooptasi dalam politik Belanda serta harus dihadapi dengan senjata. “Hal ini mengakibatkan adanya memoria passionis, ibarat ilalang yang mudah terbakar di musim panas,” ujarnya.

Peneliti LIPI Cahyo Pamungkas mengatakan bahwa akibat yang tidak diharapkan dari adanya pembangunan jalan trans-Papua diantaranya yaitu masifnya logging mengancam kerusakan ekologi; persoalan keamanan seperti pemerasan, peredaran narkoba dan miras, konflik TNI-Organisasi Papua Merdeka (OPM), Jalan trans-Papua belum mendorong kegiatan ekonomi orang asli papua (OAP), sumber daya manusia (SDM) OAP belum disiapkan untuk memanfaatkan jalan, dan lebih banyak supply barang industri ke kampung daripada sebaliknya.

Sementara itu Direktur IPSS Sri Yunanto menyampaikan dalam kaitannya dengan pelabelan kelompok kriminal bersenjata (KKB) sebagai kelompok teroris. Menurutnya, penyebutan teroris hanya untuk orang/kelompok yang sesuai dengan kriteria teroris. “Siapapun orangnya atau kelompok dan latar belakangnya. Kelompok yang tidak melakukan aksi dengan kriteria teroris sebaiknya tidak merasa sebagai teroris,” ujar Yunanto. Ia menambahkan bahwa untuk mengatasi persoalan-persoalan di Papua sebaiknya dilakukan dialog untuk Papua dan dialog yang mewakili kepentingan para pihak.

Lebih lanjut Margaretha Hanita memaparkan berbagai kajian yang telah dilakukan SKSG UI untuk menemukan cara mewujudkan perdamaian di Papua. Ia mengatakan dalam dialog Papua, terdapat beberapa syarat-syarat diantaranya pihak yang berdialog memiliki legitimasi dan mewakili kepentingan para pihak; gencatan senjata; perlindungan hukum bagi peserta dialog; stop kekerasan, intimidasi, dan intervensi pihak yang tidak berkepentingan; dan ada mediator.