close

Temu Ahli Kepelabuhanan Alumni IPB University Diskusikan UUCK

Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, peran sektor maritim, terutama pelabuhan di Indonesia sangat penting bagi keperluan mobilitas barang dan manusia dan perdagangan domestik maupun internasional. Pelabuhan sebagai bagian dari rantai pasok logistik maritim memiliki peran penting, sebagai titik perpindahan antar moda, sehingga diperlukan kinerja yang mumpuni dalam proses tranfer moda tersebut. Kinerja pelabuhan yang baik diharapkan mampu mengurangi biaya logistik, sehingga terjadi penurunan disparitas harga di berbagai wilayah terpencil dan utamanya mampu meningkatkan daya saing perekonomian Indonesia di kancah perdagangan global. Pemerintah sendiri terus berupaya dalam melakukan pembenahan sektor maritim dengan program Tol Laut, pengembangan infrastruktur pelabuhan, penggunaan sistem teknologi (INAPORTNET), dan pengembangan Sumberdaya Manusia (SDM) maritim.

Merespons hal tersebut Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL) Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) IPB University bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut-Kementerian Perhubungan, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi dan Korea Indonesia MTCRC (Marine Technology Cooperation Research Center) menggelar kegiatan Seminar Nasional Maritim yang bertemakan “Challenges and Response to Omnibus Law on Port Management, Operation, and Business”, (25/3). Kegiatan tersebut juga sekaligus merupakan temu  Alumni Ahli Kepelabuhanan IPB University.

Baca Juga :  Respon Isu Perubahan Iklim, Mahasiswa IPB University Kembangkan Ice Cream Ramah Lingkungan

Tema yang diangkat dalam seminar nasional maritim ini adalah terkait dengan implementasi dari Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) di bidang kepelabuhanan, sehingga terjadi diskusi yang akan mengakselerasi pengembangan bisnis kepalabuhanan di Indonesia. Indonesia memiliki potensi pelabuhan yang cukup besar, berdasarkan peran, fungsi dan jenis serta hirarkinya.

Wakil Rektor IPB University bidang Internasionalisasi, Kerjasama, dan Hubungan Alumni, Prof Dodik Ridho Nurrochmat dalam keterangannya menyebutkan bahwa UUCK beserta turunannya akan memiliki konsekuensi terhadap kegiatan bisnis semua sektor termasuk kepelabuhanan. Hal tersebut merupakan tantangan bagi ahli kepelabuhanan untuk mencermati UUCK dan turunannya. Ia menggarisbawahi bila regulasi tersebut saling berkaitan pada beberapa bidang sehingga dalam pengkajiannya perlu dicermati dengan seksama.
Secara empiris, ia menyebutkan bahwa aspek terkait efisiensi dan legalitas masih belum terakomodir dalam turunan UUCK. Hal tersebut salah satunya menyebabkan biaya transportasi di pelabuhan melonjak drastis karena tidak adanya infrastruktur yang layak. Aspek legalitas juga belum tersentuh dengan baik misalnya terkait data amnesti. Proses persetujuan data amnesti tentu tidak mudah, namun data yang keliru akan menghasilkan kebijakan yang keliru. Sehingga beberapa hal tersebut perlu dibenahi, misalnya melalui diskusi dalam seminar ini.

Baca Juga :  Perpustakaan UI Gelar Webinar Internasional Bahas Tren dan Isu Perpustakaan Akademik di Asia Tenggara

 “Karena tanpa adanya data amnesti, siapapun pejabatnya maka tidak akan mudah melakukannya (penyusunan kebijakan), karena ada konsekuensi hukum di dalamnya. Sayangnya, data amnesti belum dimasukan secara eksplisit dalam UUCK dan turunannya,” sebutnya.

Ir Agung Kuswandono, Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi turut pula menyampaikan bahwa membangun maritim Indonesia harus holistik dari hulu ke hilir. Antara pemerintah pusat dan daerah pun harus terintegrasi. Dimulai dari database yang handal hingga penyusunan roadmap yang berkesinambungan. Roadmap tersebut berguna untuk menerjemahkan 6000 trilyun potensi maritim Indonesia menjadi kenyataan.  

Berdasarkan roadmap tersebut serta target yang jelas,  semua potensi kemaritiman akan terkelola dengan baik, khususnya di kawasan WPP (Wilayah Pengelolaan Perikanan). Target utamanya yakni kemaritiman Indonesia menjadi tulang punggung APBN selain pajak.
“Selama ini APBN yang diterima sebagian besar pajak maupun penerimaan bukan pajak, namun lebih berat  ke migas, sementara perikanan menduduki rangking ke sekian. Hal tersebut menjadi tantangan bagi kita semua, misalnya bila ingin membangun pelabuhan maka infrastrukturnya harus dipersiapkan secara lengkap,“ imbuhnya.