close

Membumikan Sagu untuk Food Estate Ala Ahli Sagu Indonesia dari IPB University

Food estate adalah sebuah program jangka panjang pemerintah Indonesia untuk menjaga ketahanan pangan dalam negeri. Pembangunan food estate memerlukan masukan-masukan dari para ahli agar kebijakan dan langkah yang diambil tidak merugikan baik untuk manusia maupun ekosistem. Oleh sebab itu, tanaman yang dilibatkan juga harus berdasarkan riset yang mengarah kepada keberlanjutan, bukan hanya tujuan keuntungan produktivitas.

Prof Hasjim Bintoro, Guru Besar Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian IPB University dalam wawancara tentang food estate tanaman sagu mengungkapkan bahwa yang belum diperhitungkan dari sawah yang baru dibuka adalah ketidaksamaannya dengan sawah yang sudah ada. Hal ini akan mengorbankan banyak hutan tentunya, yang apabila hutan habis, maka kita akan kekurangan oksigen.

Dalam penjelasannya, Bapak Sagu Indonesia ini menerangkan bahwa sagu menjadi salah satu tanaman yang tepat untuk dikembangkan secara berkelanjutan. “Sagu itu berbeda, tidak merusak vegetasi. Karena kita dapat bahan makanan dari pohonnya, tanpa harus merusak hutan. Jangan sampai kita nanti baru menyadari bahwa sagu ini dapat menyelamatkan kita, dan ternyata sudah habis karena perusakan hutan,” tambahnya.

Baca Juga :  FKH IPB University Kembali Selenggarakan Pelatihan Bagi Dokter Hewan di Indonesia

Menurutnya, program food estate perlu menyesuaikan kebijakannya terhadap alam, sehingga kolaborasi antara pemenuhan pangan dan kelestarian lingkungan dapat terwujud. Sagu memiliki beberapa keunggulan baik secara kegunaan bahan pangan maupun dalam mendukung tercapainya keseimbangan alam. Uniknya sagu adalah tanaman yang tidak merepotkan. Ketersediaan sagu dialam cukup untuk dipanen, tidak perlu dipelihara dan tidak perlu juga ditanam.

“Sagu yang masih dalam bentuk pohon, masih aman dari banjir, karena yang dipanen adalah isinya sedangkan batangnya itu kuat. Hal ini akan berbeda dengan tanaman musiman lainnya, yang apabila banjir maka akan menyebabkan gagal panen,” ungkapnya.

Kekurangan dalam pengembangan sagu terletak pada infrastrukturnya. Nilai ekonomis pengolahan sagu untuk dapat memberikan keuntungan dari sisi infrastruktur adalah 40 ribu hektar. “Kita harus terintegrasi, insyaaAllah jika itu kita lakukan, maka tidak akan ada lagi wilayah miskin. Hal ini melibatkan seluruh komponen yang terlibat dalam birokrasi sagu,” tutupnya. (SMH/Zul)

Baca Juga :  Program Studi Konservasi Seni Hadirkan Narasumber Internasional di Art Conservation Talk #1