close

Mahasiswa ITS Gagas Adat Suku Tengger sebagai Healing Tourism

Ilustrasi poster konsep Cultural-Healing Tourism berbasis Kultur Adat Suku Tengger karya Mukhammad Akbar Makhbubi dan timnya dari Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota ITS

Kampus ITS, ITS News – Saat ini kegiatan untuk menghilangkan atau menurunkan tingkat stres di masyarakat kian meningkat dan hal tersebut berpotensi menjadi sebuah wisata penyembuhan atau healing tourism. Melihat fenomena tersebut, mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) melakukan riset terkait sensibilitas kultur adat Suku Tengger yang ada di Jawa Timur dan potensinya sebagai healing tourism berbasis kearifan lokal di Indonesia.

Ketua tim penggagas, Mukhammad Akbar Makhbubi, mengatakan bahwa potensi pengembangan healing tourism pada Suku Tengger adalah masyarakat dan budayanya. Dalam mencapai ketentraman dan kesejahteraan, masyarakat Suku Tengger hidup dengan mengabdikan diri pada aturan adat yang dikenal dengan larangan malima (lima ‘ma’) serta pedoman walima (lima ‘wa’).

Mahasiswa yang kerap disapa Bobi ini menerangkan, larangan malima tersebut adalah maling atau mencuri, main atau berjudi, madat atau mengonsumsi narkoba, minum atau mengonsumsi minuman keras, dan madon atau berzina. Serta walima (lima ‘wa’) yaitu waras atau sehat, wareg atau cukup makan, wastra atau cukup sandang, wisma atau memiliki rumah, dan wasis atau bijaksana.

Baca Juga :  Anak Pedalaman Ketapang Kalimantan Barat, Indonesia

Selain itu, Suku Tengger berada di wilayah Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) yang menjadi salah satu atensi pariwisata Provinsi Jawa Timur. “Keberadaan masyarakat Tengger yang hidup berdampingan dengan kawasan TNBTS dapat menjadi potensi dalam pengembangan healing tourism,” jelas mahasiswa Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota (PWK) ITS tersebut.

Sesi wawancara mendalam bersama kelompok masyarakat Adat Huluan Hyang terkait kegiatan sehari-hari dan budaya Suku Tengger yang dilakukan tim mahasiswa ITS

Ia memaparkan, dari hasil riset di Desa Adat Ngadisari, Kabupaten Probolinggo dan Desa Adat Wonokitri, Kabupaten Pasuruan terdapat enam sensibilitas kultur yang dapat menjadi potensi pengembangan healing tourism pada Suku Tengger. Kultur tersebut terdiri atas lunga atau berkebun, gegeni atau berkumpul di dapur atau tungku perapian, sanja atau bertamu menjelang senja, memidang atau berjemur diri, megeng atau meditasi, dan dedolan atau berkelana.

Baca Juga :  Kembali ke Desa Cihideung Ilir, Mahasiswa IPB University Tanamkan Cita-Cita Anak Sejak Dini

Lebih lanjut, jelas Bobi, kultur tersebut merupakan cara masyarakat Suku Tengger dalam memaknai budaya dan kegiatan sehari-harinya. Dengan melakukan kegiatan itu dapat menimbulkan rasa senang, tenang, ikhlas, terbuka, dan damai dari masyarakat adat Suku Tengger. “Kegiatan tersebut dinilai mampu mengurangi emosi negatif dan menjadi referensi pengembangan healing tourism,” ungkapnya.

(dari kiri) Mukhammad Akbar Makhbubi, Fairuz Amalia Ashfa, Sukma Dyah Aini, Shinta Ulwiya, dan Daksa Lintang Satyawadi bersama dosen pembimbing Arwi Yudhi Koswara ST MT

Selanjutnya, kultur tersebut disusun menjadi satu rangkaian kegiatan dengan konsep cultural-healing tourism. Adapun konsep tersebut memuat pencarian makna, pengurangan emosi negatif, dan keseimbangan interaksi. “Konsep ini akan membawa wisatawan untuk dapat merasakan pengalaman healing dari kultur sehari-hari masyarakat adat Suku Tengger,” tambah Bobi.

Bobi bersama empat rekannya dari Departemen PWK ITS berharap riset ini dapat berkembang sebagai bentuk kesiapan masyarakat dan infrastruktur penunjang wisata. Di bawah bimbingan Arwi Yudhi Koswara ST MT, tim tersebut juga telah berhasil meraih Juara 2 Program Kreativitas Mahasiswa Riset Sosial Humaniora (PKM-RSH) dalam ajang Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNAS) 2022 lalu. (HUMAS ITS)