Keterampilan Pembelajaran pada Abad-21 Disiapkan untuk Sambut Bonus Demografi Indonesia

Yogyakarta – Saat ini dunia tengah dihadapkan dengan tantangan global demografi dunia dimana negara-negara maju mengalami penuaan atau aging society, sementara Indonesia sedang memasuki proses demografi. Ini merupakan kedua hal yang saling bertolak belakang namun menjanjikan sekaligus juga mengkhawatirkan. Sehingga hal tersebut harus disikapi dengan serius dalam menyiapkan SDM yang ada untuk bisa memanfaatkan hal tersebut dan dapat memasuki persaingan global. Hal tersebut disampaikan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Nizam, pada Webinar Nasional: The 21st Century Learning Skills, Kamis (22/10), yang diadakan oleh FKK UGM.

“Di sisi lain, kemajuan teknologi bisa dilihat manusia dengan kreativitasnya, urban society, terus meningkat dan terakselerasi, bahkan diprediksi akan memasuki masa dimana mesin-mesin lebih cerdas dari manusia. Kemudian perubahan yang terjadi secara global juga revolusi industri yang di dalamnya selalu ditandai dengan tergantikannya kompetensi lama dan lahirnya kompetensi baru yang belum pernah disiapkan sebelumnya,” ucap Nizam.

Nizam menyampaikan bahwa dalam 10 tahun ke depan diprediksi 23 juta lapangan pekerjaan di Indonesia akan hilang dan berpotensi pula lahir lapangan pekerjaan baru yang jumlahnya dua kali lipat lebih banyak. Oleh karena itu, program Kampus Merdeka memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk dapat memiliki keahlian lain di luar program studinya agar dapat memberikan pendidikan kepada mahasiswa yang sejalan dengan revolusi industri serta membentuk mahasiswa menjadi pembelajar mandiri dan complex problem solver.

“Kondisi dunia saat ini dikenal dengan VUCA atau vulnerable, uncertain, complex, dan ambiguity yang ternyata terjadi di saat pandemi ini. Hal-hal serba tidak pasti. Tetapi semua itu harus dihadapi dengan karakter yang kuat dengan menjadikan pendidikan tinggi di Indonesia menjadi pendidikan di tengah abad ke-21. Kompetensi yang dibutuhkan sudah digariskan di tahun 1998 yang masih aktual adalah literasi dasar, kompetensi berpikir kritis dan pemecah masalah, kreativitas, kolaborasi, kualitas karakter, dan yang paling penting adalah kegigihan,” pungkasnya.

Baca Juga :  plt. Dirjen Dikti Berkomitmen Tinggi pada Penyelesaian Pengaduan

Sementara itu, Direktur Pembelajaran dan Kemahasiswaan Ditjen Dikti, Aris Junaidi menyampaikan berdasarkan survei yang dilakukan World Economic Forum terhadap 186 negara, terdapat 50% penduduk bumi saat ini berusia 30 tahun. Selanjutnya, persepsi milenial terhadap era disruptif yaitu percaya bahwa teknologi dapat menciptakan lapangan pekerjaan baru daripada menghilangkan pekerjaan yang sudah ada. Hal tersebut menjadi suatu hal yang optimistik, sehingga kompetensi harus disiapkan.

“Di sisi lain, terdapat tren teknologi berdasarkan survei, yaitu didominasi oleh Artificial Intelligence (AI), biotechnology, robotics, Internet of Things (IoT), dan driverless car. Oleh karena itu, bonus demografi tersebut perlu disiapkan dengan cara menyiapkan generasi yang dapat bersaing,” ujar Aris.

Aris melanjutkan bidang kesehatan adalah sektor yang akan mendapatkan keuntungan yang besar dari dampak revolusi industri. Adanya disruptive innovation dan outcome value-based healthcare, menyebabkan kita harus menghasilkan generasi-generasi tenaga kesehatan untuk menguasai 16 kompetensi atau paling tidak menguasai 6C (Communication, Collaboration, Critical Thinking, Citizenship, Creativity, dan Character) dari literasi data, literasi teknologi, dan literasi manusia.

“Standar kompetensi harus menyesuaikan dan mengikuti tren global ke depannya yang mana saat ini standar tersebut sedang direvisi dari tahun 2020. Walaupun demikian, generasi saat ini juga harus tetap menjaga karakter dan nilai-nilai budaya luhur yang diiringi pula dengan penguatan soft skill. Harmonisasi pendidikan dan layanan industri harus dilihat pula melalui pendekatan kolaborasi dengan coordinative approach atau kolaborasi praktis untuk menguatkan pembentukan kompetensi,” pungkasnya.

Baca Juga :  Ditjen Diktiristek Kolaborasi dengan Telkom Dorong Talenta Digital Melalui TesCA 2021

Direktur Kesehatan Keluarga Kementerian Kesehatan, Erna Mulanti menyampaikan penurunan kematian ibu, merupakan agenda pembangunan kesehatan sehingga sumber daya manusia perlu ditingkatkan. Kurikulum pendidikan dokter dan profesi kesehatan dapat mengakomodasi kemampuan soft skill, serta kemampuan soft skill menjadi metode pembelajaran utama untuk meningkatkan kemampuan serta kemajuan status kesehatan di Indonesia.

Menurut data Sistem Registrasi Sampel (SRS) Litbang 2016, tingkat kematian ibu mencapai 77 % di rumah sakit, dan tempat persalinan dilakukan di praktik yang dibantu oleh bidan lebih banyak dibandingkan oleh dokter. Tingginya angka Angka Kematian Ibu (AKI) disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu akses dan mutu fasilitas kesehatan kurang optimal, deteksi awal pencegahan komplikasi kehamilan kurang optimal, waktu respon pada kondisi darurat masih lambat, pengetahuan pendidikan reproduksi masih rendah, dan data informasi kesehatan tidak terpadu, dan kurangnya regulasi yang mendukung.

“Peningkatan kompetensi sumber daya manusia kesehatan di era Revolusi Industri 4.0 adalah kompetensi profesional, kompetensi interprofesional, dan literasi data, teknologi, manusia. Hal tersebut juga harus didukung dengan soft skill yang mencakup kerja sama tim, resilience, manajemen waktu, problem solving, percaya diri, leadership, akuntabilitas, dan communication skill,” pesannya. (YH/DZI/FH/DH/NH/MFS/VAL/YJ/ITR)

Humas Ditjen Dikti
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (1 votes, average: 5.00 out of 5)
Loading...
25576 Views