Pendidikan Indonesia Menuju Indonesia Emas 2045

Siaran Pers
Nomor : 51/Sipers/V/2020

Pendidikan untuk Indonesia Emas 2045 menjadi tema pembahasan webinar yang diselenggarakan oleh Pena Bakti Institute, Kamis (7/5). Dalam webinar ini menghadirkan para pakar pendidikan yang memaparkan dan mendiskusikan rencana peta jalan pendidikan Indonesia menuju Indonesia Emas 2045.

Dalam webinar tersebut menghadirkan Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Hetifah Sjaifudian; Duta Besar Indonesia untuk Uzbekistan, Sunaryo Kartadinata; Plt. Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Nizam; dan Mohammad Ali, dosen UPI dan inisiator buku Pendidikan Menuju Indonesia Emas.

Indonesia menuju usia emasnya pada tahun 2045. Seiring pertumbuhan usia bangsa, banyak pula tantangan yang akan dihadapi bangsa Indonesia. Sehingga, perlu adanya adaptasi dan transformasi dalam menyiapkan manusia Indonesia menyambut Indonesia Emas 2045, salah satunya dengan kunci pendidikan.

Hetifah menyampaikan, “kami mendukung arah perubahan pendidikan untuk menjawab tantangan zaman, sesuai dengan fungsi yang kami laksanakan,” ujarnya.

Komisi X DPR RI tuturnya, mendukung pembangunan pendidikan dengan melihat ulang UU Sisdiknas, UU Guru dan Dosen, UU Pendidikan Tinggi, dan RUU Fasilitas Sarana dan Prasarana Pendidikan. Selain itu, tantangan saat ini yaitu pemanfaatan anggaran, dimana dana yang digunakan menjadi tepat sasaran, guna, dan waktu. Agar nantinya memberikan efek perubahan yang tepat.

Baca Juga :  Ditjen Dikti Kerja Sama dengan Indosat Sediakan Layanan Telekomunikasi Ramah Kantong Mahasiswa

Sementara itu, Nizam, memotivasi para peserta. Untuk menyongsong Indonesia Emas 2045, katanya, pendidikan tinggi merupakan tempat inovasi dan menyintesa ilmu pengetahuan. Pembelajaran nantinya tidak terfokus dari dosen saja, melainkan dari berbagai sumber yang berfokus kepada pembelajar (student centered learning). “Masa depan Indonesia harus kita raih, harus kita rebut dengan sungguh-sungguh,” imbuhnya.

Nizam jelaskan perlu adanya pertumbuhan yang berkelanjutan dengan kolaborasi antara perguruan tinggi, industri, dan pemerintah untuk menjadi satu sistem yang saling menguatkan, agar menjadi mesin pertumbuhan bangsa. Perguruan tinggi tidak lagi berdiri sendiri, melainkan sebagai produsen iptek-inovasi dan pusat keunggulan. Kemudian hasilnya dapat dikolaborasikan dengan kebutuhan industri dan berkembang bersama-sama.

Penciptaan karakter unggul, budaya akademik kolaboratif dan kompetitif di perguruan tinggi menjadi kunci penting pembangunan manusia Indonesia. Perguruan tinggi juga memiliki tugas dalam mengembangkan sumber daya manusia yang mampu berpikir rasional, kritis, aktif, inovatif, berwawasan kebangsaan, dan mindset entrepreneur. Dosen juga menjadi pusat penggerak sebagai inspirator, mitra, sahabat, pengajar bagi para mahasiswa untuk menyalurkan learning based outcome curriculum. Seperti kebijakan Merdeka Belajar: Kampus Merdeka untuk merelevansikan lulusan dengan kebutuhan masyarakat dan industri.

Baca Juga :  Prodi Desain Mode Batik ISI Surakarta Gelar Pameran dan Creative Webinar “Busana dan Batik Klasik Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat”

Sementara itu, Sunaryo Kartadinata menyampaikan bahwa pendidikan sebagai fondasi perlu mewujudkan masyarakat yang berkarakter. Tugas tersebut menjadi tanggung jawab semua pihak seperti guru, tenaga pendidik, pemerintah, dan para pemangku kebijakan.

“Guru memiliki peran penting dalam membangun sekelompok manusia. Sehingga perlu adanya guru penggerak. Yaitu guru yang mentransformasikan misi pendidikan dalam tindakan pembelajaran kehidupan anak didik. Cara berpikir yang dibawakan guru, the ways of thinking, inovatif, kritis, dan kurikulum perlu mengakomodasi keragaman kebutuhan pelajar dari berbagai sumber,” tuturnya.

Perubahan merupakan sebuah keniscayaan dan tidak bisa dihindari. Hal itu juga diungkapkan oleh Mohammad Ali, inisiator penulis buku Pendidikan Menuju Indonesia Emas. Jelasnya, dalam pendidikan terdapat dua dimensi yaitu konservatif dan antisipatif. Pendidikan konservatif merupakan pendidikan yang tidak berubah dan dipertahankan seperti pendidikan Pancasila dan kebudayaan. Sementara pendidikan antisipatif merupakan perubahan kompetensi yang mengadaptasi kebutuhan zaman. Sehingga pada akhirnya, menurutnya, tumbuh manusia Indonesia yang berkarakter dan berdaya saing. (YH/DZI/HIL/YNG/EGA)

Humas Ditjen Dikti
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan